Hampir semua yang hidup itu menyisakan sampah. Jujur deh, mulai dari manusia, hewan bahkan tumbuhan sekalipun. Bedanya adalah, sampah yang disisakan oleh manusia itu kebanyakan memang ga bisa diurai secara cepat oleh alam. Kita sebut saja sampah plastik, sampah elektronik, sampah kimia, bahkan sampah buangan gas dari kendaraan bermotor.
Normalnya alam akan mengurai semua sisa pembuangan melalui proses natural, tentunya dengan bantuan pengurai yang bertebaran di alam bebas. Masalahnya dengan populasi yang luar biasa dan volume serta jenis dan intensitas buangan sampah yang menggunung hampir setiap menit, manusia membuat bakteri pengurai di alam harus bekerja lebih ekstra dan mungkin tidak bisa mengurai sama sekali saking jenuhnya.
Beruntung beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti lagi acara yang paling ditunggu di #ecobloggersquad. Waktunya sih singkat tapi isinya sangat menarik untuk disimak. Bersama Ka Fauzi dari Traction Energy Asia, saya diperkenalkan dengan istilah transisi energi yang secara tidak langsung dapat membantu mengangkat beban alam kita supaya tidak terlalu jenuh oleh sisa atau buangan tadi. Apa itu transisi energi? Check this out!
Apa itu Transisi Energi ?
Transisi Energi artinya pindah mengurangi penggunaan energi fosil ke energi non fosil dengan tujuan untuk mengurangi selimut polusi. Selama ini kan kita tahu persis kalau selimut polusi sangat erat kaitannya dengan gas buangan mulai dari kendaraan bermotor maupun dari hasil kegiatan industri.
Bicara tentang gas buangan yang dihasilkan kendaraan bermotor, ternyata polusi udara yang selama ini menjadi penyumbang selimut polusi ke dua adalah dari bahan bakar kendaraan bermotor. Selain itu juga terdapat bahan bakar yang secara tidak langsung berasal dari listrik. Kok bisa?
Rupanya pembangkit listrik di Indonesia memang belum seratus persen bisa lepas dari batu bara. Bahkan berdasarkan Katadata, dikarenakan kebutuhan listrik meningkat maka pasokan batu bara pun akan ditambah.
Sumber: Pertumbuhan Produksi Listrik untuk Batubara (katadata, 2022)
Dari ini saja, kita bisa melihat bahwa perombakan yang dilakukan demi mendapatkan energi yang terbarukan itu ternyata tidak mudah. Malah hulunya saja masih belum bisa move on dari batu bara.
Jadi, sekalipun banyak sekali cita-cita besar untuk beralih ke energi terbarukan, ternyata banyak sekali tantangan yang harus ditaklukkan. Mulai dari fasilitas yang belum siap, infrastruktur yang belum lengkap dan energi terbarukan itu sendiri yang belum merakyat.
Istilah merakyat ini memang masih cukup meresahkan karena sampai saat ini kendaraan dengan tenaga listrik itu memang baru bisa dijangkau oleh kalangan berada. Tentu saja yang jangkauan wilayahnya pun hanya di perkotaan saja. Pelosok desa? Hm, jalan merah tanah yang pekat dan membuat ban selalu terhambat pastinya belum menjadi prioritas pasar mobil yang digadang-gadang sebagai ramah lingkungan.
Transisi Energi Masih Diperlukan
Meskipun banyak tantangan, transisi energi sejatinya harus tetap dilaksanakan sekecil apapun. Kenapa? Karena adanya kenaikan GRK (Gas Rumah Kaca) akibat banyaknya selimut polusi sehingga perlu dilakukan pengurangan pengurangan bahan bakar fosil.
Dengan semakin menebalnya selimut polusi, maka bencana yang diakibatkan perubahan iklim pun semakin banyak. Mulai dari banjir, cuaca ekstrim, bertambahnya volume air laut, bahkan bencana lingkungan seperti kebakaran hutan, kekeringan yang menyebabkan gagal panen, dsb. Ujung-ujungnya, tidah hanya kerugian jangka pendek saja yang didapatkan tapi juga jangka panjang.
Gagal panen pastinya akan mempengaruhi persediaan stok pangan dan tidak mustahil jika hal in terus menerus terjadi akan terjadi kerawanan pangan. Makanya kenapa transisi energi yang harapannya ke depan akan mengurangi percepatan perubahan iklim harus tetap diupayakan.
Mengenali Sampah Sendiri, Transisi Energi Paling Murah
Ternyata membahas transisi energi tidak melulu soal modal besar, mahal dan pengerjaan yang adikarya. Tak jauh dari lingkungan kita, ada sumber yang bisa menjadi energi yaitu sampah. Kita mungkin sering mendengar bahwa sampah organik itu menghasilkan gas. Nah, gas inilah yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Bahkan sampai saat ini sudah banyak ternyata masyarakat yang mulai memanfaatkan sampah organik di sekitarnya baik itu kotoran hewan maupun (maaf) manusia. Tentu saja pengelolaan yang baik dan terpadu sangat menentukan keberhasilan dari pembangkit listrik tenaga biogas ini.
Selain itu, ada juga pemanfaatan sampah organik sebagai ecoenzym. Ini bahasan menarik sih menurut saya karena ternyata sampah buah malah bisa menjadi salah satu zat yang mirip sekali dengan sabun bahkan anti bakteria. Cara pembuatan ecoenzym juga sudah banyak tersebar di berbagai media. Jadi, kita bisa tuh meniru tata caranya. Selain lebih murah, tentunya lebih sehat baik untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar karena tidak melibatkan zat kimia buatan.
Sejauh Mana Aksi Global dalam Transisi Energi?
Ga cuma segelintir orang yang sudah mulai membuka mata mengenai pentingnya transisi energi. Para tokoh dunia bahkan sudah mulai bergerak dalam aksi transisi energi. Fasilitas pembangkit listrik dengan energi terbarukan juga menarik minat para investor asing di Indonesia. Contohnya saja, di Sulawesi Selatan sudah ada Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) yang dibangun terbesar se asia tenggara. Rencananya bahkan di Sukabumi, Jawa Barat juga akan dibangun PLTB lanjutan.
Beberapa investor dunia juga tak segan mengucurkan dana segar untuk pembangunan fasilitas energi terbarukan. Ini menunjukkan bahwa upaya kita tetap harus dipupuk sebesar apapun tantangannya. Jika kita tidak bisa lakukan dengan biaya yang mahal, maka transisi energi dengan bahan sederhana saja sudah lebih dari cukup. Jadi, transisi energi bukan hal yang mustahil bukan?