Jika semua bertindak, maka bumi yang asri bukan hanya mimpi satu generasi
Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa pesawat akhirnya berbalik ke Jakarta. Padahal harusnya sepuluh menit lagi saya bisa mendengar pantun cetar khas maskapai hijau di langit Jambi yang saat itu muram. Jarak pandang sangat terbatas. Benar saja, pilot mengumumkan bahwa pesawat yang saya tumpangi tidak bisa mendarat karena landasan tidak terlihat. Biang keroknya apalagi kalau bukan kabut asap, si primadona tajuk utama berita pada pertengahan 2015. Kala itu, saya sempat menjadi bagian dari ratusan penumpang yang terlantar di ruang tunggu maskapai. Beberapa penumpang terdengar membandingkan kejadian 2015 dengan tahun-tahun sebelumnya yang tidak terlalu parah. Apa benar perbedaan kondisi waktu itu akibat dari perubahan iklim?

Perbedaan iklim dan cuaca
Sebagai orang yang awam mengenai klimatologi, cuaca itu ibarat mood yang gampang berubah, sementara iklim adalah karakternya. Kita tidak bisa melihat perubahan karakter seseorang kecuali mengenalnya dalam waktu yang lama. Hujan deras yang berganti dengan panas terik bukanlah perubahan iklim. Oleh karena itu, para peneliti selalu menunjukkan perubahan iklim dengan melihat track record selama beberapa tahun.

Ternyata benar saja, 2015 sampai 2016 merupakan tahun terpanas dalam kurun waktu 39 tahun. Pantas saja saya merasa bahwa suhu udara Jambi waktu itu sangat tidak ramah. Terutama untuk perantau yang lahir di kaki Gunung Gede seperti saya. Apalagi kabut asap memperparah kualitas udara.
Tidak Semua Orang Peduli Perubahan Iklim
Tidak semua orang merasakan koneksi dengan gejala perubahan iklim yang dipaparkan para peneliti. Jujur, apakah teman-teman peduli tentang kabar mencairnya es di kutub utara? Atau migrasi burung ke tempat yang lebih dingin dan kenaikan permukaan air laut? Jika saya bertanya pada abang ojek, harga pertamax yang melesat pastinya jauh lebih mencemaskan dibandingkan efek naiknya jumlah emisi karbon. Padahal para peneliti sudah banyak memaparkan efek buruk CO2 untuk lingkungan akibat bahan bakar fosil, seperti rusaknya terumbu karang dan berubahnya pola migrasi ikan.

Begitupun saat saya pertama kali penasaran dengan isu perubahan iklim. Jika saya tidak pernah terkena ISPA, mungkin kabut asap hanya akan saya anggap angin lalu. Jadi, pengalaman pribadi memang betul-betul mempengaruhi cara pandang dalam menanggapi isu perubahan iklim.
Perubahan Iklim yang Kurasakan
Beberapa hal ini yang membuat saya merasa bahwa perubahan iklim adalah masalah serius yang harus segera ditangani.
1. Suhu yang Gerahnya Kebangetan
Walaupun terlahir di daerah yang sejuk, saya juga pernah tinggal di beberapa tempat dengan suhu panas dan beradaptasi dengan baik. Namun saat ini gerahnya sudah tidak seperti dulu. Bahkan di waktu tertentu, AC di ruangan kantor terasa kurang optimal padahal kondisinya masih bagus. Tidak hanya itu, saat saya kembali ke kampung halaman di Sukabumi. Seharusnya suhu udara Sukabumi sejuk dan jika hari sangat dingin, kabut tipis yang mempesona sudah menyambut di pagi hari. Tapi sekarang tiap kali pulang ke rumah, suhu daerah Sukabumi cenderung panas. Malahan malam hari kadang saya membutuhkan kipas saking kegerahan.
Kejadian serupa juga saya alami saat tinggal di Jepang. Banyak orang yang mengatakan bahwa musim panas selama beberapa kurun terakhir menjadi ekstrim dan musim semi malah datang terlalu cepat. Sehingga, jadwal mekarnya bunga sakura menjadi tidak setepat dahulu.
2. Waktu Alergi dan Influenza yang Lama
Akhir-akhir ini saya merasakan pola yang selalu sama setiap tahunnya. Tepatnya di akhir Desember dan Januari, saya dan keluarga besar pasti terkena influenza berbarengan. Jika melihat riwayat penyakit, keluarga saya termasuk jarang sekali sakit influenza yang sangat parah. Namun dalam beberapa dekade terakhir, kejadian ini terus berulang dan memakan waktu setidaknya seminggu. Bahkan sebelum virus Covid-19 muncul, hal ini sudah terjadi setiap tahun.
Selain itu, dalam beberapa tahun belakangan ini alergi saya mulai terlihat lagi. Terutama saat suhu udara mulai tidak menentu atau terjadi perubahan suhu. Biasanya saya akan sedikit kesulitan untuk bernafas dengan lega. Hal ini sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Satu studi mengatakan, perubahan iklim berpengaruh pada para penderita alergi terutama alergi serbuk sari. Rupanya kenaikan emisi karbon yang memicu pemanasan global dapat menambah produktivitas serbuk sari sampai 200 %. Kejadian ini juga berlangsung dalam periode yang lebih lama dari sebelumnya.
3. Abrasi yang Semakin Parah
Saya sangat menyukai perjalanan ke pantai. Setiap ada kesempatan menginap, pasti saya akan mencari tempat yang dekat dengan lautan. Ada satu momen saat saya menginap di Pantai Ujung Genteng. Biasanya sepanjang pantai ini termasuk aman karena ombaknya terbilang “kalem”. Namun, dalam beberapa tahun terakhir seringkali terdapat bangunan yang rusak akibat adanya abrasi. Bahkan kenaikan permukaan air lautnya tidak bisa diprediksi. Alhasil, kerusakan yang terjadi tidak bisa diantisipasi terutama untuk bangunan pinggir pantai.
4. Panen Impun yang Berkurang
Terdapat kebiasaan warga di Pelabuhan Ratu, Sukabumi yakni memanen impun-sejenis ikan teri. Dulu almarhum ayah saya bercerita kalau selokan di sekitar perumahan warga sepanjang pantai penuh dengan impun saat musim panen. Seolah-olah impun ini minta ditangkap saking mudahnya. Namun, saat ini kebiasaan ini sudah sulit sekali dilakukan karena jumlah impun berkurang drastis.
Rupanya kejadian tersebut tidak hanya berlaku untuk impun. Beberapa tangkapan nelayan tradisional saat ini sudah tidak seperti dulu. Satu studi mengatakan bahwa kondisi air laut yang semakin hangat membuat perubahan pada pola migrasi ikan. Alhasil, tangkapan ikan saat ini berkurang akibat ikannya mencari tempat lain.
5. Kebakaran dan Kabut Asap yang Parah
Setelah kejadian 2015, dalam beberapa tahun pemerintah daerah sudah mengeluarkan sangsi bagi pelaku pembakaran lahan. Alhasil di tahun 2018, meski kabut asap kembali terjadi tapi dampaknya tidak separah sebelumnya. Setiap tahun kebakaran lahan maupun hutan memang tidak bisa dihindari, namun bertambah parah akibat perubahan iklim. Musim kemarau semakin panas sehingga percikan api sedikit saja sudah bisa mebuat kebakaran lahan. Ditambah angin besar yang berhembus. Apalagi untuk beberapa wilayah di Sumatera, lahan gambut membuat titik api yang tersembunyi dalam tanah sewaktu-waktu bisa membesar.
Aksi Saya Mengurangi Perubahan Iklim
Sekalipun Elon Musk sudah mulai ancer-ancer membuat pemukiman di Mars, namun bagiku bumi hanya satu-satunya tempat tinggal. Makanya #UntukmuBumiku saya mulai dengan perubahan kecil dari diri sendiri. Sebagai bagian dari #TeamUpforImpact, inilah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk lingkungan sekitar.
Pertama, Bepergian dengan kendaraan jika perlu saja. Transportasi di Indonesia saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Sekalipun saat ini oktan minyaknya sudah naik, namun lepasan emisi dari transportasi tetap menjadi kontributor emisi tertinggi. Makanya, saya lebih memilih jalan kaki jika memungkinkan. Selain menghemat bahan bakar fosil, jalan kaki juga menyehatkan badan. Saat istirahat siang, saya lebih memilih istirahat di kantor saja meskipun bisa saja pulang ke rumah memakai kendaraan. Kalaupun terpaksa menggunakan kendaraan, maka transportasi umum menjadi pilihan terbaik saya. Kereta api tentu saja menjadi pilihan pertama dan kalau tidak perlu sekali. Saya akan pergi liburan tanpa harus menggunakan pesawat terbang alias liburan yang dekat-dekat dulu saja.
Kedua, Lebih memilih tiket pesawat kelas ekonomi dibandingkan bisnis. Bagi kaum komuter antar pulau seperti saya, urusan tiket pesawat sangat penting. Biasanya jauh-jauh hari saya akan memesan tiket pesawat supaya dapat diskonan. Namun di balik segala manfaat ekonomis, tiket pesawat ekonomi juga terbukti lebih ramah lingkungan. Kok bisa? Studi dari World Bank mengatakan bahwa penumpang kelas bisnis memberikan jejak karbon tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan kelas ekonomi. Untuk yang satu ini saya jadi tambah sayang sama tiket ekonomi :D.
Ketiga, Bijak Memakai Peralatan Elektronik dan kendaraan yang Ramah Lingkungan. Tidak semua peralatan elektronik sudah ramah lingkungan. Dengan menggunakan alat elektronik yang sudah difasilitasi green-tech saya bisa berkontribusi dalam melindungi bumi. Contohnya saja saya memilih lampu LED daripada bohlam biasa. Saya juga mencabut charger ponsel saat sudah selesai untuk mengurangi konsumsi energi yang terbuang. Ketika harus membeli motor, maka saya memperhatikan apakah mesinnya sudah dilengkapi ISS yang bisa menghemat bahan bakar atau belum.

Keempat, Mengurangi Konsumsi yang Tidak Diperlukan. Kadangkala dalam urusan belanja kita semua akan khilaf apalagi saat banyak diskonan akhir tahun atau tanggal cantik. Dengan hanya membeli barang yang dibutuhkan, maka saya bisa mengurangi jumlah sampah rumah tangga yang dihasilkan. Saya pun berusaha memakai produk preloved sebisa mungkin uapalagi untuk urusan baju. Saat ini sudah banyak loh baju preloved yang kualitasnya tidak jauh beda dengan baju baru. Bahkan di Jepang, bisnis barang preloved sangat menarik pangsa pasarnya.
Kelima, Membawa Botol Minum. Walaupun terasa klise, tapi hal ini adalah tindakan #UntukmuBumiku yang paling sederhana. Dengan tidak membeli kemasan sekali pakai, saya bisa mengurangi sampah plastik. Ini juga berlaku untuk peralatan makan minum lainnya. Selain itu, sedotan juga menjadi masalah terbesar yang masih saya usahakan untuk kurangi. Biasanya saya suka lupa kalau untuk urusan sedotan. Jika lupa membawa sedotan stainless saya lebih memilih untuk tidak memakai sedotan.
Keenam, Menghapus Sampah File yang Tidak Diperlukan. Rupanya sampah file yang kita anggap tidak masalah di Google Drive maupun surel, ternyata memberikan kontribusi dalam konsumsi energi. Rupanya penyimpanan data memerlukan konsumsi listrik yang sangat tinggi. Untuk itu, saya coba untuk selalu bersih-bersih surel dan juga fasilitas cloud lainnya. Sehari saja bisa sampai ratusan megabite yang saya buang.
Ketujuh, Aktif Memberikan Pengetahuan Tentang Isu Lingkungan. Meskipun peran saya tidak banyak, tapi dengan berkontribusi dalam sosialisasi isu lingkungan bisa menambah awareness masyarakat. Saya biasa menggunakan platform blog maupun media sosial seperti instagram untuk melakukan aksi ini. Sebisa mungkin saya mengangkat isu lingkungan yang didukung dengan data terkini. Hal ini dilakukan agar data yang saya paparkan dimengerti oleh semua orang terutama orang-orang dengan kapasitas yang lebih luas. Bagaimanapun, aksi yang paling efektif tentu saja hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pembuatan aturan dan sangsi.
Kedelapan, Berusaha Memakai Jasa Antar Reguler. Kenapa masih saya usahakan? Berhubung transportasi adalah penyumbang emisi terbesar, maka semakin saya lama menerima paket kiriman, semakin saya bisa membantu mengurangi emisi. Faktanya, saya masih tetap ingin menerima paket secepat mungkin. Jadi hanya dua faktor yang mengerem jasa kirim express satu hari, yaitu ongkos kirim dan tingkat kepentingan si barang.
Itulah beberapa aksi kecil #UntukmuBumiku terkait perubahan iklim. Setidaknya kegiatan kecil yang bisa dilakukan oleh diri sendiri menjadi resonansi yang baik untuk sekitar. Jika satu bergerak, semua bertindak, maka bumi yang asri bukan hanya mimpi satu generasi. Jadi yuk, bareng-bareng mulai mewujudkan bumi yang berkelanjutan mulai dari sekarang!
Referensi
BMKG. (2022). Perubahan Iklim. https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim.
Media Library. (2022). Pollen Season & Climate Change. https://medialibrary.climatecentral.org/resources/pollen-season-climate-change.
World Bank. (2013). Calculating the Carbon Footprint from Different Classes of Air Travel. https://documents1.worldbank.org/curated/en/141851468168853188/pdf/WPS6471.pdf