Japan · Opini · Traveling

Sedikit tentang budaya Jepang

Ohaiyooo..

Begitulah sapaan yang aku terima saat kali pertama bertemu dengan penduduk sekitar apato di Kyushu Kodaimae. Itu juga sebagian kecil budaya yang kukenal saat mengenal Jepang.Sebuah distrik kecil yang bisa disebut desa disini. Desa yang menurutku sudah bergeser maknanya lebih kepada kota besar. Jalanan yang licin mulus beraspal, fasilitas kereta api, taxi, sepeda plus parkirannya. Lift menuju dan keluar stasiun bagi difable dan lansia, dan masih banyak lagi.

Sapaan tadi memang tidak berlaku untuk semua orang Jepang, ada yang hanya senyum saja, ada yang menyapa ada juga yang biasa saja. Namun, hampir semua penduduk yang berusia lanjut bersikap lebih ramah dibandingkan anak muda. Apalagi saat ponakanku yang lucu lagi dibawa jalan. Semua orang tuanya dan sebagian anak mudanya selalu bilang kawaiiiii….

Bisa dibilang, awal-awal aku datang ke Jepang merasakan jetlag bertubi-tubi. Sudahlah waktu lebih cepat dua jam, fasilitas dan mental disiplinnya pun berbeda jauh sama keseharian di tanah air. Menggunakan fasilitas trotoar bertahun – tahun, belum pernah sekalipun ada mobil yang mau menunggu pengguna jalan saat nyebrang. Jadi kalau di Jepang, saat ada pejalan kaki mau menyebrang jalan meski tidak ada lampu penyebrang jalan, si kendaraan akan mempersilahkan pejalan kaki terlebih dahulu. Ada hak pejalan kaki yang dihargai disini.

Jalanan trotoar pun dlengkapi oleh jalur berbenjol-benjol warna kuning atau abu. Fungsi jalur ini kata teman adik adalah untuk para tuna netra yang sedang jalan-jalan sendirian supaya bisa meraba jalan. Alhamdulillah saat ini negara Indonesia juga sudah banyak berbenah soal pelayanan erthadap kaum difabel.

budaya Jepang

Begitupun saat naik escalator dan lift. Naik escalator di sini jika sedang tidak terburu-buru mesti di lajur kiri. Tiap daerah sebenarnya punya aturan sendiri. Jalur kanan khusus untuk orang yang mengejar kereta atau tergesa-gesa memburu waktu. Hal ini berlaku juga untuk jalan raya, lajur tengah, semacet apapun harus senantiasa kosong untuk kepentingan ambulans dan hal darurat lainnya.

Orang disini termasuk ramah tapi juga tidak kepo, artinya mereka bertanya seperlunya, menjawab sewajarnya. Ga ada pakai korak korek info lebih dari yang mereka butuhkan. Kalau ada orang yang kurang normal, aneh ataupun kasihan. Mereka tidak akan menatap lama-lama supaya tidak menyinggung. Dan jika menawarkan sesuatu memang benar-benar bakal mereka lakukan, sampai tuntas.

Di kendaraan umum, kita bisa dengan mudah menemukan priority seat yang kadang diduduki oleh orang yang bukan prioritas. Namun, orang-orang ini kaan segera beranjak setelah orang prioritas masuk. Selalu ikut aturan dimana buang sampah dengan membedakan mana plastik, botol dan kertas. Merokok di ruang terbuka juga ada tempatnya. Jika di tempat wisata biasanya dikasih tanda smoking side.

Jika sedang sakit, yang si empunya sakit akan berhati-hati kontak dengan yang lain karena takut menulari orang lain. Hampir selalu memakai masker, bahkan jika bersin ga pakai acara persiapan sampai ngagetin orang sekitar. Selalu sepelan dan sesopan mungkin.

Sebenarnya aku ga aneh dengan semua hal ini, secara semua sikap mental ini diterapkan sejak mereka kecil. Bahkan anak usia 2-3 tahun saja sudah kalau nangis yang ga masuk akal karena minta jajan atau tantrumnya lagi kambuh, bakal dibiarkan nangis sampai berhenti sendiri. Ga smua kemauan anaknya diikuti. Sedari kecil diajari toleransi dan praktek secara keseluruhan.

Tapi, yang namanya manusia ga ada yang sama. Ada juga kok orang Jepang disini yang ga patuh aturan, biasanya yang kayak gini suka dikucilin karena dianggap ga berkepribadian baik. Sebetulnya kepatuhan aturan sendiri itu bukan masalah kamu golongan darah A, O, B, AB kok (ini juga bukan fakta loooh). Tapi lebih kepada kita sebagai manusia memang ga hidup sendiri, ada hak orang lain disamping kepentingan kita.

O ya ga ketinggalan, para lansia disini termasuk banyak loh, pada awet tua. Sehat – sehat dan masih ada yang jadi sopir taksi juga (dalam balutan kemeja dan dasi panjang). Dan ini menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah Jepang. Para lansia hampir semua sudah tidak bisa lagi bekerja namun tetap dapat tunjangan dari pemerintah meski bukan PNS. Nah di kita, malah kebanyakan anak muda jadi polemik, karena anak mudanya belum terberdayakan semua. Yang ada malah anak muda alayers dan galau.

Yuk yang muda-muda, bangun Indonesia. Sumber daya alam Jepang tuh ga sekaya alam kita, pun sumber daya manusianya. Mereka cuma pintar merawat dan memberdayakan yang ada sehingga semuanya tercukupi dan dinikmati semua lapisan. Tentu saja semuanya memakai biaya. Tapi, tak ada biaya yang sia-sia jika digunakan sesuai fungsinya.

Contoh lapangan terbuka, kalau di Indonesia kita bisa saja parkir sembarangan, buang barang sembarangan tinggal ke loakan atau TPA. Di Jepang semuanya bayar. Bahkan membuang barang yang tidak mau dipakai lagi harus bayar. Semata-mata untuk mengurangi banyaknya tumpukan sampah maupun sifat konsumtif.

Kita juga bisa asal dimulai dari sekarang. Yuk terapkan dari hal-hal yang kecil dulu seperti buang sampah misalnya. Kita, Indonesia, pasti bisa !!!

Comments